Senin, 23 Desember 2013

Makalah Somatik



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Dengan semakin berkembangnya usaha di bidang pertanian maka kebutuhan bibit semakin meningkat. Melalui perbanyakan konvensional sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan bibit yang sangat banyak dengan waktu relatif cepat. Dengan demikian, teknologi kultur jaringan telah terbukti dapat digunakan sebagai teknologi pilihan yang sangat menjanjikan untuk pemenuhan kebutuhan bibit tanaman yang akan dieksploitasi secara luas.
Pada kultur in vitro dikenal istilah embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik adalah proses saat sel-sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahapan perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet. Embriogenesis somatik ini terjadi melalui beberapa tahapan yaitu induksi kalus embrionik, pendewasaan (maturation), perkecambahan, dan hardening. Adanya tahapan-tahapan dalam perkembangan embriogenesis somatik tersebut penting untuk dipelajari lebih dalam.
Namun demikian, ada faktor tertentu yang harus diantisipasi, yaitu penyimpangan genetik yang dapat terjadi karena metode in vitro. Untuk itu, perlu dimengerti mekanisme fisiologi apa yang terjadi, faktor apa saja yang menyebabkannya sehingga mutasi dapat dihindarkan. Berdasarkan pengalaman pada spesies tanaman tertentu, yaitu suatu formulasi media sangat baik untuk memacu pertunasan pada tahap awal sampai subkultur keenam, namun pada subkultur berikutnya menjadi tidak baik (semua biakan menghitam, layu, dan mati).
Hal tersebut terjadi karena terdapat komponen organik tertentu yang tidak baik digunakan pada jaringan yang sudah mengalami periode kultur in vitro lama. Formulasi media baru yang lebih sederhana komponen organiknya dicoba dan biak-an mengalami penyembuhan serta tumbuh normal kembali.
Dari contoh tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk memecahkan sistem regenerasi tanaman tidak mudah. Banyak hal yang harus dipelajari dan dikuasai seperti mekanisme fisiologi, daya aktivitas, laju transportasi, sifat persistensi, daya aktivitas dari berbagai komponen organik dan anorganik penyusun media tumbuh serta faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan kultur in vitro.
Kultur jaringan tanaman telah dikenal banyak orang sebagai usaha mendapatkan varietas baru (unggul) dari suatu jenis tanaman dalam waktu yang relatif lebih singkat dari pada dengan cara pemuliaan tanaman yang harus dilakukan penanaman secara berulang-ulang sampai beberapa generasi. Untuk mendapatkan varietas baru melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan cara isolasi protoplas dari 2 macam varietas yang difusikan. Atau dengan cara isolasi khloroplas suatu jenis tanaman yang dimasukkan kedalam protoplas jenis tanaman yang lain, sehingga terjadi penggabungan sifat-sifat yang baik dari kedua jenis tanaman tersebut hingga terjadi hibrid somatik. Cara yang lain adalah dengan menyuntikkan protoplas dari suatu tanaman ketanaman lain. Contohnya transfer khloroplas dari tanaman tembakau berwarna hijau ke dalam protoplas tanaman tembakau yang albino, hasilnya sangat memuaskan karena tanaman tembakau menjadi hijau pula. Contoh lain adalah keberhasilan mentrasnfer khloroplas dari tanaman jagung ke dalam protoplas tanaman tebu hasilnya memuaskan (Anik Herawati, 1991).
Teknik kultur jaringan sampai saat ini memang belum biasa dilaksanakan oleh para petani, baru beberapa kalangan pengusaha swasta saja yang sudah mencoba melaksanakannya, karena pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman memerlukan keterampilan khusus dan harus diltar belakangi dengan ilmu pengetahuan dasar tentang fisiologi tumbuhan, anatomi tumbuhan, biologi, kimia dan pertanian. Dengan demikian jelas akan amat sulit untuk diterima oleh kalangan petani biasa. Di samping itu, pelaksanaan teknik kultur jaringan mutlak memerlukan laboratorium khusus, walaupun dapat di usahakan secara sederhana (dalam ruang yang terbatas), namun tetap memerlukan peralatan yang memadai. Kemungkinan lain petani akan merasa enggan bekerja secara aseptik. Karena semua pekerjaan harus dilaksanakan secara hatri-hati dan cermat serta memerlukan kesabaran yang tinggi. Biaya untuk mewujudkan perbanyakan tanaman cecara in vitro ini juga sangat mahal, kecuali kita meramu medium sendiri. Bila kia terpaksa harus membeli medium yang sudah jadi (dalam kemasan) jelas akan sangat mahal, sebab medium yang sudah jadi masih harus di impor dari luar negeri. Apalagi kita harus membeli saran untuk perlakuan isolasi dan fusi protoplas, tentu biayanya akan bertambah besar. Enzim-enzim yang digunakan dalam kultur jaringan juga masih dibeli dari luar negeri sepertti Jepang.
Lepas semua dari kendala-kendala tersebut diatas, kita harus mengakui bahwa teknik kultur jaringan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk pengembangan bioteknologi.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari Embriogenesis Somatik?
2.      Bagaimanakah tahapan dalam embriogenesis somatik?
3.      Faktor apa saja yang mempengaruhi Pembentukan embrio somatik ?
4.      Apakah kelebihan dan kekurangan dari embryogenesis somatik ?
5.      Apa sajakah kendala dalam pelaksanaan embryogenesis somatik ?

1.3  Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah ingin mengetahui :
1.      Apakah pengertian dari Embriogenesis Somatik.
2.      Bagaimanakah tahapan dalam embriogenesis somatik.
3.      Faktor apa saja yang mempengaruhi Pembentukan embrio somatik.
4.      Apakah kelebihan dan kekurangan dari embryogenesis somatik.
5.      Apa sajakah kendala dalam pelaksanaan embryogenesis somatik.

Manfaat dari penulisan ini adalah :
1.      Sebagai sumber pustaka yang mampu memberi manfaat kepada masyarakat secara luas.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Embriogenesis Somatik Dan Kultur Jaringan
Embriogenesis somatik merupakan suatu proses pembentukan embrio dari sel somatik menjadi tumbuhan baru, tanpa melalui fusi sel gamet. Cara ini dinilai lebih cepat dan efisien, karena setiap sel somatik berpotensi untuk menjadi 1 individu baru. Embrio somatik dicirikan dengan strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon meristem, meristem akar dan meristem tunas. Embrio somatik dapat melalui dua jalur pembentukan, yaitu secara langsung maupun tidak langsung (melalui fase kalus).
Kultur jaringan atau biakan jaringan sering juga disebut kultur in vitro yakni teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara buatan yang dilakukan di luar individu yang bersangkutan. In vitro berasal dari bahasa Latin yang artinya "di dalam kaca". Jadi Kultur in vitro dapat diartikan sebagai bagian jaringan yang dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya. Secara teoritis teknik kultur jaringan dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari tumbuhan, hewan, bahkan juga manusia, karena berdasarkan teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential), bahwa setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi individu lengkap. Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot karena berasal dari satu sel tersebut.
Menurut Suryowinoto (1991), kultur jaringan dalam baha asing disebut sebagai tissue culture. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. jadi, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya
Kultur jaringan akan lebih besar presentase keberhasilannya bila menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dinding tipis, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture. Sebab, jaringan meristem keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan.
Teknik kultur jaringan sebenarnya sangat sederhana, yaitu suatu sel atau irisan jaringan tanaman yang sering disebut eksplan secara aseptik diletakkan dan dipelihara dalam medium pada atau cair yang cocok dan dalam keadaan steril. dengan cara demikian sebaian sel pada permukaan irisan tersebut akan mengalami proliferasi dan membentuk kalus. Apabila kalus yang terbentuk dipindahkan kedalam medium diferensiasi yang cocok, maka akan terbentuk tanaman kecil yang lengkap dan disebut planlet. Dengan teknik kultur jaringan ini hanya dari satu irisan kecil suatu jaringan tanaman dapat dihasilkan kalus yang dapat menjadi planlet dalam jumlah yang besar.
Pelaksanaan teknik kultur jaringan berdasarkan teori sel sperti yang dikemukakan oleh Schleiden, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan autonom, bahkan mempunyai kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, darimana saja sel tersebut diambil, apabila diletakkan dilingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna.
Teknik kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk pembentukkan kalus, penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik terutama untuk kultur cair. Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan, tetapi sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian meristem, seperti: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya. Bila menggunakan embrio bagian bji-biji yang lain sebagai eksplan, yang perlu diperhatikan adalah kemasakan embrio, waktu imbibisi, temperatur dan dormansi.
Embriogenesis dimulai dengan pembelahan gel yang tidak seimbang (kalus). Kalus biasanya terbentuk setelah eksplan dikulturkan dalam media yang mengandung auksin. Banyak faktor yang mempengaruhi embriogenesis antara lain auksin eksogen, sumber eksplan, komposisi nitrogen yang ditambahkan dalam media dan karbohidrat (sukrosa). Selanjutnya gel membelah terus hingga memasuki tahap globular. Pada saat tersebut sel aktif membelah kesegala arah dan membentuk lapisan terluar yang akan menjadi protoderm (bakal epidermis), kelompok sel yang merupakan prekursor jaringan dasar dan jaringan pembuluhpun mulai terbentuk. Pembelahan kesegala arah tersebut terhenti ketika pembentukan primordia kotiledon, pada saat embrio matang sudah autotrof. Embrio yang matang akan berkecambah dan tumbuh menjadi tumbuhan yang baru pada kondisi yang cocok (Bajaj, 1994; Dodeman dkk. 1997;Lits, 1985).
Proses pembentukan dan perkembangan embrio (embriogenesis) menentukan pola pertumbuhan, yaitu meristem pucuk ke atas, meristem akar ke bawah, dan pola-pola dasar jaringan lainnya berkembang pada 'axis' pucuk –akar ini, namun pada tiap tumbuhan terdapat variasi pada proses embriogenesis.
Selanjutnya proses embriogenesis adalah bagian dari metode kultur jaringan untuk memperoleh bibit yang banyak dan bebas virus. Planlet yang dihasilkan pada mulanya  beragam. Selanjutnya tanaman akan ditanam dilapang dan diadakan seleksi sesuai dengan metoda pemuliaan berkali-kali sehingga diperoleh tanaman-tanaman yang unggul. Tanaman inilah yang digunakan sebagai sumber eksplan yang bisa diperbanyak dengan berbagai cara dilaboratorium kultur jaringan sehingga didapat bibit dalam jumlah banyak dan seragam, metoda yang digunakan antara lain menginduksi tunas majemuk dan sub kultur. Jika sudah diperoleh sumber eksplan yang unggul dan media yang sesuai maka prosesnya akan berlangsung dalam waktu yang singkat dengan penambahan hormone tumbuh dalam konsentrasi rendah.
Metode perbanyakan cepat kultur jaringan dapat dilakukan melalui:
a.       Perangsangan tunas lateral untuk membentuk tunas ganda dalam jumlah yang melebihi npertumbuhan normal. Bahan tanaman yang digunakan umumnya berupa batang yang mempunyai 1 buku. Cara ini lebih mudah dan aman dalam mempertahankan sifat pohon induknya.
b.      Inisiasi tunas adventif langsung dari eksplan atau melalui kalus.
c.       Embrio somatik.
Cara kedua dan ketiga banyak dilaporkan menyebabkan ketidakstabilan pada turunannya karena pembentukan melalui fase kalus. Tetapi di masa mendatang, cara embrio somatik banyak mendapat perhatian para pakar karena mempunyai segi analitis dan komersialisasi yang sangat potensial (Watimena, 1988).

2.2  Proses Pembentukan Embrio Somatik
Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung maupun tidak langsung (melewati fase kalus). Embriogenesis somatik langsung adalah proses perkembangan embrio secara langsung pada potongan eksplan tanpa melalui fusi gamet, dan terjadi pada eksplan yang masih muda (George dan Sherrington, 1984). Sedangkan embryogenesis somatik tidak langsung yaitu proses perkembangan embrio melalui pembentukan kalus yang berasal dari akar, tangkai daun, tangkai bunga, daun, batang, atau embrio zigot yang mampu membentuk kalus embrigionik (Chawla, 2000; George et al. 2008). Embryogenesis langsung memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan embryogenesis . embryogenesis somatik langsung memerlukan waktu lebih singkat untuk menghasilkan planlet dan kemungkinan terjadinyapenyimpangan akibat keseragaman somakronal lebih kecil dibandingkan embryogenesis tidak langsung.waktu yang diperlukan lebih singkat karena tidak melalui fase kalus (Rungkhla et al, 1998) dan dapat menekan masalah sulitnya pembentukan benih somatic pada tahap perkecambahan (Rai et al., 2001).
Keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati. Embrio somatik dapat dihasilkan dalam jumlah besar dari kultur kalus, namun untuk tujuan perbanyakan dalam skala besar, jumlahnya dapat lebih ditingkatkan melalui inisisasi sel embrionik dari kultur suspensi yang berasal dari kalus primer.
Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas. Dengan memiliki struktur tersebut maka perbanyakan melalui embrio somatik lebih menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif yang unipolar. Di samping strukturnya, tahap perkembangan embrio somatik menyerupai embrio zigotik.


2.3  Tahapan Embriogenesis Somatik
Embriogenesis somatik mempunyai beberapa tahapan spesifik,yaitu (1) induksi sel dan kalus embriogenik, (2) pendewasaan, (3) perkecambahan, dan (4) aklimatisasi.
1.      Induksi sel dan kalus embriogenik
Sebelum dilakukan induksi sel, eksplan terlebih dahulu dilakukan sterilisasi permukaan. Induksi sel dan kalus embriogenik pada umumnya dilakukan dengan penambahan zat pengatur tumbuh pada medium pertumbuhannya dalam konsentrasi yang tinggi agar mempunyai daya aktivitas yang kuat. Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan yaitu, auksin (antara lain 2,4-D) dan sitokinin (antara lain kinetin). Kalus embriogenik ditandai dengan pembentukan struktur kalus yang friable (remah dan mudah terpisah) serta berwarna putih atau kekuningan yang muncul sekitar 2,5 bulan. Selanjutnya akan terbentuk struktur pasangan-pasangan berbentuk kepingan berwarna putih yang menandakan terbentuknya embrio. Total embrio yang terbentuk dari 1 helai daun yaitu sekitar 1000 embrio (Roostika et al., 2009).

2.      Pendewasaan
Pada tahap pendewasaan, struktur globular akan berkembang membentuk kotiledon dan primordia akar. Pembentukan diawali dengan pembentukan struktur bipolar (2 kutub). Perkembangan kalus embriogenik dipengaruhi oleh kondisi hormon endogen dan eksogen (zat pengatur tumbuh). Ketika konsentrasi auksin lebih tinggi dari sitokinin, maka pertumbuhan akar akan lebih dominan. Sebaliknya jika konsentrasi sitokinin lebih tinggi dari auksin, maka yang dominan terbentu adalah tunas. Pada tahap pendewasaan sering digunakan zat pengatur tumbuh pada konsentrasi yang rendah. Perkembangan kalus embriogenik menjadi planlet dimulai dengan terbentuknya struktur globular, hati, torpedo dan kotiledon (gambar 2.1 ).























Gambar  2.1:  Urutan perkembangan kalus embriogenik. (A) struktur globular, (B) struktur hati, (C) struktur torpedo, (D) struktur kotiledon awal, (E) kotiledon akhir (Roostika et al., 2009)
3.      Perkecambahan
Pada tahap perkecambahan, embrio somatik akan membentuk tunas dan akar. Zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam medium pertumbuhan berada dalam konsentrasi yang sangat rendah, bahkan tidak digunakan sama sekali. Berdasarkan penelitian Roostika et al. (2009), penambahan auksin ke dalam medium pertumbuhan justru tidak mampu meningkatkan persentase pembentukan planlet. Hal ini diduga bahwa kandungan auksin endogen dalam kalus mebriogenik cukup tinggi sehingga tidak memerlukan auksin eksogen. Pembentukan tunas lebih diharapkan daripada pembentukan akar karena induksi perakaran dari eksplan tunas lebih mudah dibandingkan dengan induksi tunas dari eksplan akar. Untuk perakaran digunakan media MS + NAA. Proses perakaran pada umumnya berlangsung selama 1 bulan. Planlet (tunas yang telah berakar) diaklimatisasikan sampai bibit cukup kuat untuk ditanam dilapangan. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).

4.      Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah kegiatan mengadaptasikan tanaman atau mengkondisikan tanaman dari yang semula kondisinya terkendali ke kondisi yang tak terkendali, untuk menjadi tanaman yang autotrof. Bibit embrio somatik diaklimatisasi terlebih dahulu sebelum ditanam di lingkungan agar terjadi penyesuaian. Keberhasilan aklimatisasi ditandai dengan munculnya sepasang daun merah (Roostika et al., 2005). Pada penelitian Roostika et al. (2009), persentase tingkat keberhasilan aklimatisasi hanya sebesar 14%. Rendahnya tingkat aklimatisasi kemungkinan disebabkan penguapan planlet yang tinggi karena masih mempunyai kutikula yang tipis. Van Huylenbroeck dan Debergh (1996) menyebutkan bahwa selama proses aklimatisasi, planlet harus beradaptasi terhadap lingkungan baru, seperti tingkat kelembaban yang rendah, tingkat intensitas cahaya yang tinggi, fluktuasi suhu dan stress penyakit.














Gambar 2.2 : tahap aklimasi pada embryogenesis somatik secara in vitro
(sumber : www. hannylast.blogspot.com)

2.4  Faktor Keberhasilan Pertumbuhan Embrio Somatik
Pembentukan embrio somatik dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain jenis eksplan, sumber nitrogen dan gula, serta zat pengatur tumbuh (Purnamaningsih, 2002).
a.       Jenis eksplan
Penggunaan jenis eksplan yang bersifat meristematik dapat meningkatkan keberhasilan dalam embriogenesis somatik. Jenis eksplan yang umum digunakan antara lain, aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, dan epikotil maupun hipokotil.Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan kultur jaringan. Tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam seleksi bahan eksplan yaitu genotipe, umur dan kondisi fisiologis bahan tersebut.
Walaupun tanaman dapat diperoleh dari sejumlah besar genotipe, kemampuan regenerasi setiap genotipe sangat berbeda. Pengaruh genotipe pada proliferasi sel dapat dilihat pada kapasitas regeneratifnya. Pada umumnya tanaman dikotil lebih mudah berproliferasi pada kultur in vitro daripada tanaman monokotil. Selain itu tanaman Gymnospermae memiliki kapasitas regeneratif yang lebih terbatas dibandingkan dengan tanaman Angiospermae. Tanaman yang umumnya mudah diperbanyak melalui teknik perbanyakan vegetatif konvensional akan mudah pula diperbanyak melalui teknik kultur jaringan. Pada umumnya tanaman monokotil lebih sulit diperbanyak daripada tanaman dikotil baik secara vegetatif konvensional maupun melalui kultur jaringan.
Jaringan-jaringan yang sedang aktif tumbuh (jaringan muda dan lunak) pada masa pertumbuhan merupakan bahan eksplan yang paling baik karena pada umumnya jaringan tersebut lebih mudah berproliferasi daripada jaringan berkayu atau yang sudah tua. Jaringan muda biasanya memiliki kapasitas regeneratif yang tinggi dan seringkali digunakan sebagai bahan penelitian.
Kondisi fisiologis eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan kultur jaringan pada umumnya bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian generatif. Kondisi fisiologis dari suatu tanaman bervariasi secara alami, sejalan dengan pertumbuhan tanaman yang melewati fase-fase yang berbeda dan perubahan kondisi lingkungan. Suatu respons pertumbuhan tertentu di dalam sistem kultur jaringan merupakan hasil interaksi antara kondisi fisiologis bahan yang dikulturkan dengan faktor-faktor lingkungan.
Faktor lain yang mempengaruhi laju keberhasilan kultur jaringan adalah ukuran eksplan yang digunakan. Hal itu penting dalam upaya memproduksi tanaman bebas virus melalui kultur meristem. Di samping itu ukuran pun menentukan laju kehidupan bahan eksplan yang dikulturkan. Semakin kecil ukuran eksplan akan semakin kecil pula kemungkinan terjadinya kontaminasi baik secara internal maupun eksternal, namun laju kehidupan pun akan rendah. Sebaliknya semakin besar ukuran eksplan akan semakin besar pula kemungkinan untuk berhasilnya proliferasi, namun kemungkinan untuk terjadinya kontaminasi mikroorganisme akan semakin besar.

b.      Sterilisasi Bahan
Kultur jaringan meliputi penanaman sel atau agregat sel, jaringan, dan organ tanaman pada medium yang mengandung gula, vitamin, asam-asam amino, garam-garam anorganik, air, zat pengatur tumbuh dan bahan pemadat. Komposisi medium tumbuh ternyata sangat menguntungkan pula bagi pertumbuhan cendawan dan bakteri. Bila terjadi kontaminasi, mikroorganisme akan tumbuh dengan cepat dalam waktu yang singkat dan menutupi permukaan medium serta eksplan yang ditanam. Selanjutnya mikroorganisme tersebut akan menyerang eksplan melalui luka-luka akibat pemotongan dan penanganan pada sterilisasi sehingga mengakibatkan kematian eksplan. Disamping itu mikroorganisme mengeluarkan senyawa beracun ke dalam medium kultur yang dapat menyebabkan kematian jaringan. Oleh karena itu, dalam inisiasi suatu kultur harus diusahakan kultur yang aksenik artinya kultur hanya dengan satu macam satu organisme yang diinginkan.
Untuk menghilangkan sumber infeksi, bahan tanaman harus disterilkan sebelum ditanamkan pada medium tumbuh. Jaringan atau organ yang terinfeksi jamur atau bakteri sistemik hendaknya dibuang.

c.        Sumber nitrogen dan gula
Komposisi nutrisi dalam medium berperan penting dalam induksi dan perkembangan embryogenesis somatik. Nitrogen merupakan faktor utama dalam memacu morfogenesis secara in vitro. Menurut Ammirato (1983), bentuk nitrogen reduksi (seperti NH4+ dan NO3-) dan beberapa asam amino (seperti glutamin dan kasein hidrolisat) dapat membantu proses inisiasi dan perkembangan embrio somatik. Young et al. (1999) dalam  Purnamaningsih (2002) menambahkan bahwa penambahan asam amino dapat merangsang terjadinya komunikasi di antara sel dan jaringan pada organ multiseluler. Akan tetapi, konsentrasi NO3- yang terlalu tinggi dapat meningkatkan pH medium sehingga kalus tidak membentuk embrio somatik.
Selain nitrogen, gula juga merupakan komponen nutrisi yang harus diberikan ke medium pertumbuhan. Gula berfungsi sebagai sumber karbon dan mempertahankan tekanan osmotik pada medium. Anhazhagan dan Ganapathi mengamati pengaruh beberapa jenis gula (glukosa, sukrosa, fruktosa, dan maltosa) terhadap pembentukan kalus embriogenik. Penambahan sukrosa ke dalam medium kultur menghasilkan jumlah embrio somatik paling banyak dibandingkan jenis gula yang lain (tabel 2.1).

d.      Media tanam
Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral unsur hara makro dan unsur hara mikro, vitamin, dan zat pengatur tumbuh (hormon). Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, arang aktif, dan bahan organik lainnya .Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya menggunakan autoklaf. Berikut adalah jenis-jenis media yang dapat digunakan untuk kultur jaringan tanaman:
Berdasarkan asalnya, media dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Media alami
Media alami merupakan media yang berasal dari cairan jaringan embrio dan medium plasma darah. Plasma darah merupakan komponen terbesar dalam darah, karena lebih dari separuh darah mengandung plasma darah. Untuk bahan alami ini masih digolongkan ke dalam tiga kategori lagi, yakni:
1)   Koagulat misalnya koagulan plasma darah dan kolagen
2)   Cairan biologis misalnya berupa serum
3)   Ekstrak jaringan misalnya berupa ekstrak embrio

2.      Media Sintetik
Media sintetik merupakan media yang dibuat secara kimia, misalnya DMEM (Dulbeccoir M'odp'ied Eagle Medium) dan RPMI (Roswell Park Memorial Institute medium). Berdasarkan kebutuhannya media buatan dibagi menjadi 3, yaitu:
1)   Minimum essential medium (MEM), yaitu medium dasar yang tersusun atas asam amino esensial, vitamin dan BSS.
2)   Medium pemeliharaan (Maintenance medium/MM), yaitu medium yang digunakan untuk memelihara kehidupan sel dalam metaboisme renda dan jangka waktu yang cukup lama. Medium ini terdiri dari Minimum essential medium (MEM) dan serum berkonsentrasi rendah (2-5%).
3)   Medium penumbuh (growth medium) yaitu, medium yang diperkaya dengan nutrien-nutrien untuk menumbuhkan kultur sel secara cepat, medium ini ditambahkan serum cukup banyak (10 – 20 %). 

e.       Zat pengatur tumbuh
Zat pengatur tumbuh merupakan suatu senyawa organik yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Konsentrasi yang digunakan berbeda-beda tergantung dari fase pertumbuhan yang terjadi. Konsentrasi yang tinggi diberikan pada tahap induksi sel, sedangkan pada tahap pendewasaan zat pengatur tumbuh diberikan dengan konsentrasi yang rendah. Macam zat pengatur tumbuh tersebut dapat berupa auksin (2,4-D; 3,5-T; picloram; dan NAA), dan sitokinin ( Benzil adedin/BA, kinetin, dan adenine sulfat). Zat pengatur tumbuh yang paling sering digunakan adalah auksin sintetik 2,4-D karena efektif  untuk induksi kalus embriogenik dan tahap terhadap degradasi reaksi enzimatik maupun fotooksidasi.

Tabel 2.1. Pengaruh penggunaan karbohidrat dan konsentrasi 2,4-D terhadap embryogenesis somatik pada kultur suspensi
 












Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%. Perlakuan
dari 10 ulangan. (sumber : ika246.blogspot.com)

Perbandingan penggunaan zat pengatur tumbuh dilakukan pada penelitian Roostika et al. (2009). Dua macam zat pengatur tumbuh yang digunakan yaitu auksin (IBA dan NAA), serta sitokinin (BA dan kinetin). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan auksin lebih efektif untuk perkembangan kalus embriogenik dibandingkan dengan sitokinin (grafik 1 ).

Grafik  1 :   Pengaruh auksin dan sitokinin terhadap regenerasi kalus embriogenik lengkeng Diamond river yang ditanam pada medium yang mengandung sukrosa 1&, 2 bulan setelah tanam.









(sumber : ika246.blogspot.com)

Proses pembentukan embriogenesis somatik dikendalikan oleh berbagai gen yang saling terkait. Hiwatashi dan Fukuda (2000) mengisolasi 6 homeobox gen (CHBs) yang dikelompokkan sebagai famili HD (homeo-domain) Zip I dari embrio dan bibit wortel. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah m-RNA dari gen CHB3, CHB4, CHB5, dan CHB6 meningkat sesuai dengan perkembangan embrio somatik. Akumulasi m-RNA dari gen-gen tersebut tampak
pada beberapa lokasi yang berbeda dalam embrio dan bibit wortel sesuai dengan tahap perkembangannya.
Pada embrio, akumulasi m-RNA dari CHB3 terlihat pada bagian aksis embrio pada fase globular, sedangkan pada awal fase hati sampai akhir torpedo, akumulasi m-RNA dari CHB3 tampak pada bagian paling dalam dari sel-sel korteks. Lapisan paling dalam dari sel-sel korteks tersebut berbeda dengan sel-sel korteks lain di mana lapisan tersebut banyak mengandung vakuola dan plastida. Lapisan ini akan berdiferensiasi membentuk sistim pembuluh. Ekspresi dari gen CHB4 dan CHB5 mulai terlihat pada fase torpedo. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ekspresi dari gen CHB3, CHB4, dan CHB5 kemungkinan berhubungan dengan diferensiasi dari lapisan sel-sel korteks yang paling dalam. Peningkat-an jumlah m-RNA dari gen CHB6 terlihat pada jaringan pembuluh yang masih muda dari fase hati hingga terbentuknya
embrio somatik. Hal ini menunjukkan bahwa gen CHB6 kemungkinan berhubungan dengan diferensiasi dan perkembangan sistem pembuluh. Secara skematik ekspresi dari keempat gen tesebut dan hubungannya dengan tahap perkembangan embriogenesis disajikan pada gambar 2.3.

 











Gambar2.3 : Akumulasi m-RNA dari CHB yang berbeda-beda selama embriogenesis somatic
(sumber : www. ika246.blogspot.com)

2.5  Masalah-masalah Dalam Embriogenesis Somatic Secara In Vitro
Dalam kegiatan kultur jaringan, tidak sedikit masalah-masalah yang muncul sebagai pengganggu dan bahkan menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan kegiatan kultur yang dilakukan. Gangguan kultur secara umum dapat muncul dari bahan yang ditanam, dari lingkungan kultur, maupun dari manusianya.
Permasalahan dalam kultur ada yang dapat diprediksi sebelumnya dan ada pula yang sulit diprediksi kejadiannya. Untuk yang tidak dapat diprediksi, cara mengatasinya tidak dapat secara preventif tetapi diselesaikan setelah kasus itu muncul. Adapun masalah-masalah yang terjadi dalam kultur jaringan yaitu:
1.      Kontaminasi
Kontaminasi adalah gangguan yang sangat umum terjadi dalam kegiatan kultur jaringan. Munculnya gangguan ini bila dipahami secara mendasar adalah merupakan sesuatu yang sangat wajar sebagai konsekuensi penggunaan yang diperkaya. Fenomena kontaminasi sangat beragam, keragaman tersebut dapat dilihat dari jenis kontaminasinya (bakteri, jamur, virus, dll).
Upaya mencegah terjadinya kontaminsi:
a.       Biasakan membersihkan berbagai sarana yang diperlukan dalam kultur jaringan.
b.       Yakinkan bahwa proses sterilisasi media secara baik dan benar.
c.        Lakukan proses penanaman bahan pada keadaan anda nyaman dan cari waktu yang longgar.

2.      Pencoklatan/browning
Pencoklatan adalah suatu karakter munculnya warna coklat atau hitam yang sering membuat tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Peristiwa pencoklatan sesunggguhnya merupakan peristiwa alamiah yang biasa yang sering terjadi. Pencoklatan umumnya merupakan suatu tanda-tanda kemunduran fisiologi eksplan dan tidak jarang berakhir pada kematian eksplan.

3.      Vitrifikasi
Vitrifikasi adalah suatu istilah problem pada kultur yang ditandai dengan:
Munculnya pertumbuhan dan pertumbuhan yang tidaknormal. Tanaman yang dihasikan pendek-pendek atau kerdil. Pertrumbuhan batang cenderung ke arah penambahan diameter Tanaman utuhnya menjadi sangat turgescent.
Pada daunnya tidak memiliki jaringan pallisade..

4.      Variabilitas Genetik
Bila kultur jaringan digunakan untuk upaya perbanyakan tanaman yang seragam dalam jumlah yang banyak, dan bukan sebagai upaya pemuliaan tanaman maka variasi genetik adalah kendala. Variasi genetik dapat terjadi pada kultur in vitro karena:
Laju multiflikasi yang tinggi, variasi terjadi karena terjadinya sub kultur berulang yang tidak terkontrol. Penggunaan teknik yang tidak sesuai.  
Variasi genetik yang paling umum terjadi pada kultur kalus dan kultur -suspensi sel, hal tersebut terjadi karena munculnya sifat instabilitas kromosom mungkin akibat teknis kultur, media atau hormon. Cara mengatasi masalah variasi genetik tentunya tidak sederhana, harus memperhatikan aspek yang dikulturkan.

5.      Pertumbuhan dan Perkembangan
Masalah utama berkaitan dengan proses pertumbuhan adalah bila eksplan yang ditanam mengalami stagnasi, dari mulai tanam hingga kurun waktu tertentu tidak mati tetapi tidak tumbuh. Untuk menghindari hal itu dapat dilakukan dengan preventif menghindari bahan tanam yang tidak juvenil atau tidak meristematik. Karena awal pertumbuhan eksplan akan dimulai dari sel-sel yang muda yang aktif membelah, atau dari sel-sel tua yang muda kembali.
Media juag dapat menjadi sebab terjadinya stagnasi pertumbuhan, karena dari kondisi medialah suatu sel dapat atau tidak terdorong melakukan proses pembelahan dan pembesaran dirinya.
Pada proses klutur jaringan yang bersifa inderict embriogenesis, tahapan pembentukan kalus harus dilanjutkan dengan mendorong induksi embriosomatik dari sel-sel kalus. Terjadinya embrio somatik dapat secara endogen atau eksogen.

6.      Praperlakuan
Masalah pada kegiatan in vitro bukan hanya dari penanaman eksplan saja, pertumbuahn dan perkembangannya dlama botol saja tetapi juga sangat bisa dipengaruhi oleh persyaratan kegiatan prapelakuan. Pada kasus ini masalah akan muncul bila kegiatan prapelakuaan tidak dilakukan. Prapelakuan dilakukan umumnya untuk tujuan-tujuan tertentu, secara umum adalah dalam rangka menghilangkan hambatan. Hambatan apat berupa hambatan kemikalis, fisik, biologis. Hambatan berupa bahan kimia penanganannya harus dimulai dari pengenalan senyawa aktif, potensi gangguan, proses reaksi dan alternatif pengelolaannya.

7.      Lingkungan Mikro
Masalah lingkungan inkubator juga tidak bisa diabaiakan karena ini juga sering menjadi masalah. Suhu ruangan inkubator sangat menentukan optimasi pertumbuhan eksplan, suhu yang terlalu rendah aatau tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada eksplan.
Kebutuhan antara satu tananaman dengan tanaman yang lain berbeda, namunddemikian solusinya sulit dilakukan mengingat umumnya ruangan inkubator suatu ruangan laboratorium kultur jaringan tidak bisa dibuat variasi antara satu ruangan dengan bagian ruangan yang lainnya. Sehingga optimasi pertumbuhan tidak bisa diharapkan sama antara kultur yang satu dengan kultur yang lain.

2.6  Manfaat Embriogenesis Somatik In-Vitro
Kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama persis dengan induknya. Dari teknik kultur jaringan tanaman ini diharapkan juga memperoleh tanaman baru yang bersifat unggul. Secara lebih rinci dan jelas berikut ini akan dibahas secara khusus kegunaan dari kultur jaringan terhadap berbagai ilmu pengetahuan. Antara lain:
1.      Menghasilkan jutaan klon dapat dihasilkan dalam waktu singkat dengan jumlah material awal yang sedikit
2.      Teknik kultur jaringan menawarkan suatu alternatif  bagi spesies-spesies yang resisten terhadap sistem perbanyakan vegetatif konvensional dengan melakukan manipulasi terhadap faktor-faktor lingkungan, termasuk penggunaan zat pengatur tumbuh.
3.      Kemungkinan untuk mempercepat pertukaran bahan tanaman di tingkat internasionalua proses dilakukan di bawah kondisi lingkungan yang terkendali di laboratorium ataupun rumah kaca.
4.      Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu).
5.      Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah.
6.      Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan  lainnya.
7.      Dapat diperoleh sifat-sifat yang dikehendaki.
8.      Metabolit sekunder tanaman segera didapat tanpa perlu menunggu tanaman dewasa.
9.      Kultur jaringan juga mempunyai manfaat yang besar dibidang farmasi, karena dari usaha ini dapat dihasilkan metabolit skunder upaya untuk pembuatan obat-obatan, yaitu dengan memisahkan unsur-unsur yang terdapat di dalam kalus ataupun protokormus, misalnya alkoloid, steroid, dan terponoid.
10.  Beberapa jenis tanaman ada yang teramcam punah (endangered species), misalnya berbagai jenis tanaman pisang, tanaman melati, kenanga, kayu jati, dan kayu putih. Usaha yang paling tepat untuk melestarikan tanaman yang terancam punah adalah dengan jalan kloning. Dengan usaha kloning ini, populasi dari tanaman tersebut akan terselamatkan, bahkan dapat bertambah, sekaligus sifat-sifat yang dimiliki oleh tanaman tersebut tetap terjamin.
11.  Kultur jaringan juga memberikan masukkan atau informasi pengetahuan yang sangat bermanfaat dibidang fisiologi tanaman. Pada tanaman anggrek misalnya, telah berhasil diketahui bahwa jika ujung akarnya diiris melintang akan memperlihatkan warna tertentu. Warna tersebut nantinya akan sama dengan warna bunganya. Hal ini sangat berguna dalam bidang perdangan bunga hias, sebab walaupun tanamannya belum berbunga orang sudah dapat mengetahui warna bunga yang akan muncul.


2.7  Kerugian dari Embriogenesis Somatik Secara In-Vitro
Selain memberikan keuntungan yang besar embriogenesis somatic secara invitro juga memberikan kerugian, antara lain :
1.      Bagi orang tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit.
2.      Membutuhkan modal investasi awal yang tinggi untuk bangunan (laboratorium  khusus), peralatan dan perlengkapan.
3.      Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan perbanyakan kultur jaringan agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan.
4.      Produk kultur jaringan pada akarnya kurang kokoh.
5.      Mengancam keanekaragaman hayati.

2.8  Kendala Dalam Penerapan Embriogenesis Somatik Secara In-Vitro Di Masyarakat
Teknik kultur jaringan sampai saat ini memang belum biasa dilaksanakan oleh para petani, baru beberapa kalangan pengusaha swasta saja yang sudah mencoba melaksanakannya, karena pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman memerlukan keterampilan khusus dan harus dilatar belakangi dengan ilmu pengetahuan dasar tentang fisiologi tumbuhan, anatomi tumbuhan, biologi, kimia dan pertanian. Dengan demikian jelas akan amat sulit untuk diterima oleh kalangan petani biasa. Di samping itu, pelaksanaan teknik kultur jaringan mutlak memerlukan laboratorium khusus, walaupun dapat di usahakan secara sederhana (dalam ruang yang terbatas), namun tetap memerlukan peralatan yang memadai. Kemungkinan lain petani akan merasa enggan bekerja secara aseptik..
Pekerjaan kultur jaringan meliputi: persiapan media, isolasi bahan tanam (eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi dan usaha pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang. Pelaksana harus bekerja dengan teliti dan serius, karena setiap tahapan pekerjaan tersebut memerlukan penanganan tersendiri dengan dasar pengetahuan tersendiri. Karena semua pekerjaan harus dilaksanakan secara hati-hati dan cermat serta memerlukan kesabaran yang tinggi. Biaya untuk mewujudkan perbanyakan tanaman secara in vitro ini juga sangat mahal, kecuali kita meramu medium sendiri. Bila kita terpaksa harus membeli medium yang sudah jadi (dalam kemasan) jelas akan sangat mahal, sebab medium yang sudah jadi masih harus di impor dari luar negeri. Apalagi kita harus membeli saran untuk perlakuan isolasi dan fusi protoplas, tentu biayanya akan bertambah besar. Enzim-enzim yang digunakan dalam kultur jaringan juga masih dibeli dari luar negeri seperti Jepang.
Lepas semua dari kendala-kendala tersebut diatas, kita harus mengakui bahwa teknik kultur jaringan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk pengembangan bioteknologi.


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Perbanyakan tumbuhan atau perbanyakan bibit tumbuhan secara besar-besaran kadang–kadang sangat diperlukan. Namun perbanyakan tumbuhan dengan teknik konvensional seringkali menghadapi kendala teknis, lingkungan maupun waktu. Sebagai contoh perbanyakan tanaman dengan menggunakan biji memerlukan waktu yang relatif lama dan seringkali hasilnya tidak seperti tanaman induknya. Kendala lain yang juga sering muncul adalah gangguan alam, baik yang disebabkan oleh jasad hidup, misalnya hama dan penyakit maupun cekaman lingkungan yang dapat menggangu keberhasilan perbanyakan tanaman di lapangan. Sejalan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan terutama bidang teknologi, kendala-kendala tersebut dapat diatasi  antara lain melalui teknik kultur jaringan.
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik. Sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Kultur jaringan atau biakan jaringan sering disebut kultur in vitro yakni teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara buatan yang dilakukan di luar individu yang bersangkutan. Kultur in vitro memiliki banyak manfaat namun kultur in vitro juga memiliki kerugian salah satunya seperti mengancam keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu, nampaknya kecanggihan teknologi saat ini selain memberikan manfaat tapi menghasilkan pula kerugian yang merupakan masalah yang harus dicarikan solusinya. Ini semua menjadi tugas kita semua untuk memberikan solusi bermanfaat agar dapat memecahkan masalah tersebut

3.2  Kritik Dan Saran
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknik kultur jaringan memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi dunia pertanian, perkebunan dan dunia pendidikan. Namun, terlepas dari kelebihan itu semoga teknik pembiakan tanaman dengan cara kultur jaringan ini dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat untukmenciptakan perekonomian maupun pendidikan Indonesia kea rah yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

ika. Embryogenesis somatic. 2012.http://ika246.blogspot.com/2012/05/embriogenesis-somatik-embriogenesis.html (diakses tanggal 4 Oktober 2012)
noname. Embriogenesis-somatik.2008. http://id.scribd.com/doc/95735579/Embriogenesis-somatik. (diakses tanggal 4 Oktober 2012)
paradabangsa. 2012.Perbanyakan tanaman melalui kultur. http://www.peradabanbangsa.com/2012/04/perbanyakan-tanaman-melalui-kultur.html (diakses tanggal4 Oktober 2012)
Daisy, 1994. Teknik kultur jaringan. Yogjakarta ; kanisius.
Noname. 2010. Embryogenesis somatic. http://contohmakalah.web.id/2010/12/embriogenesis-somatik-pada-kultur-in-vitro-daun-kopi/ (akses tanggal 4 Oktober 2012)
Asgarsel.2010. kultur jaringan. http://asgarsel.blogspot.com/2010/11/kultur-jaringan-adalah-suatu-metode.html. (akses tanggal 4 Oktober 2012)
Widya. 2010. Materi kuliyah. http://widya1990.wordpress.com/materi/ (diakses tanggal 4 Oktober 2012)
Hanny. 2012. Kultur jaringan. http://hannylast.blogspot.com/2012/04/kultur-jaringan.html (diakses tanggal 4 Oktober 2012)
Fransiska. 2011, makalah kultur jaringan. http://thafransisca.wordpress.com/2011/01/30/makalah-kultur-jaringan-lengkap/. (Akses tanggal 4 Oktober 2012)
Dwiekayanti. 2011. Makalah embryogenesis. http://dwiekayanti.blogspot.com/2011/03/makalah-embriogenesis-tumbuhan-dikotil.html.(diakses tanggal 4 Oktober 2012)
Iksanudin. 2010. Embryogenesis somatic. http://ikhsanudin.wordpress.com/2010/12/05/embriogenesis-somatik-pada-kultur-in-vitro-daun-kopi/ (diakses tanggal 4 Oktober 2012)

1 komentar: