BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dengan semakin
berkembangnya usaha di bidang pertanian maka kebutuhan bibit semakin meningkat.
Melalui perbanyakan konvensional sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan bibit
yang sangat banyak dengan waktu relatif cepat. Dengan demikian, teknologi
kultur jaringan telah terbukti dapat digunakan sebagai teknologi pilihan yang
sangat menjanjikan untuk pemenuhan kebutuhan bibit tanaman yang akan
dieksploitasi secara luas.
Pada kultur in vitro dikenal istilah embriogenesis
somatik. Embriogenesis somatik
adalah proses saat sel-sel somatik (baik
haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahapan
perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet. Embriogenesis somatik ini terjadi
melalui beberapa tahapan yaitu induksi kalus embrionik, pendewasaan (maturation), perkecambahan, dan hardening. Adanya tahapan-tahapan dalam
perkembangan embriogenesis somatik tersebut penting untuk dipelajari lebih
dalam.
Namun demikian,
ada faktor tertentu yang harus diantisipasi, yaitu penyimpangan genetik yang
dapat terjadi karena metode in vitro. Untuk itu, perlu dimengerti
mekanisme fisiologi apa yang terjadi, faktor apa saja yang menyebabkannya
sehingga mutasi dapat dihindarkan. Berdasarkan pengalaman pada spesies tanaman
tertentu, yaitu suatu formulasi media sangat baik untuk memacu pertunasan pada
tahap awal sampai subkultur keenam, namun pada subkultur berikutnya menjadi
tidak baik (semua biakan menghitam, layu, dan mati).
Hal tersebut
terjadi karena terdapat komponen organik tertentu yang tidak baik digunakan
pada jaringan yang sudah mengalami periode kultur in vitro lama.
Formulasi media baru yang lebih sederhana komponen organiknya dicoba dan
biak-an mengalami penyembuhan serta tumbuh normal kembali.
Dari contoh
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk memecahkan sistem regenerasi
tanaman tidak mudah. Banyak hal yang harus dipelajari dan dikuasai seperti
mekanisme fisiologi, daya aktivitas, laju transportasi, sifat persistensi, daya
aktivitas dari berbagai komponen organik dan anorganik penyusun media tumbuh
serta faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan kultur in vitro.
Kultur jaringan
tanaman telah dikenal banyak orang sebagai usaha mendapatkan varietas baru
(unggul) dari suatu jenis tanaman dalam waktu yang relatif lebih singkat dari
pada dengan cara pemuliaan tanaman yang harus dilakukan penanaman secara
berulang-ulang sampai beberapa generasi. Untuk mendapatkan varietas baru
melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan cara isolasi protoplas dari 2
macam varietas yang difusikan. Atau dengan cara isolasi khloroplas suatu jenis
tanaman yang dimasukkan kedalam protoplas jenis tanaman yang lain, sehingga
terjadi penggabungan sifat-sifat yang baik dari kedua jenis tanaman tersebut
hingga terjadi hibrid somatik. Cara yang lain adalah dengan menyuntikkan
protoplas dari suatu tanaman ketanaman lain. Contohnya transfer khloroplas dari
tanaman tembakau berwarna hijau ke dalam protoplas tanaman tembakau yang
albino, hasilnya sangat memuaskan karena tanaman tembakau menjadi hijau pula.
Contoh lain adalah keberhasilan mentrasnfer khloroplas dari tanaman jagung ke
dalam protoplas tanaman tebu hasilnya memuaskan (Anik Herawati, 1991).
Teknik kultur
jaringan sampai saat ini memang belum biasa dilaksanakan oleh para petani, baru
beberapa kalangan pengusaha swasta saja yang sudah mencoba melaksanakannya,
karena pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman memerlukan keterampilan
khusus dan harus diltar belakangi dengan ilmu pengetahuan dasar tentang
fisiologi tumbuhan, anatomi tumbuhan, biologi, kimia dan pertanian. Dengan
demikian jelas akan amat sulit untuk diterima oleh kalangan petani biasa. Di
samping itu, pelaksanaan teknik kultur jaringan mutlak memerlukan laboratorium
khusus, walaupun dapat di usahakan secara sederhana (dalam ruang yang
terbatas), namun tetap memerlukan peralatan yang memadai. Kemungkinan lain
petani akan merasa enggan bekerja secara aseptik. Karena semua pekerjaan
harus dilaksanakan secara hatri-hati dan cermat serta memerlukan kesabaran yang
tinggi. Biaya untuk mewujudkan perbanyakan tanaman cecara in vitro ini
juga sangat mahal, kecuali kita meramu medium sendiri. Bila kia terpaksa harus
membeli medium yang sudah jadi (dalam kemasan) jelas akan sangat mahal, sebab
medium yang sudah jadi masih harus di impor dari luar negeri. Apalagi kita
harus membeli saran untuk perlakuan isolasi dan fusi protoplas, tentu biayanya
akan bertambah besar. Enzim-enzim yang digunakan dalam kultur jaringan juga
masih dibeli dari luar negeri sepertti Jepang.
Lepas semua
dari kendala-kendala tersebut diatas, kita harus mengakui bahwa teknik kultur
jaringan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk
pengembangan bioteknologi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian dari Embriogenesis Somatik?
2. Bagaimanakah
tahapan dalam embriogenesis somatik?
3. Faktor
apa saja yang mempengaruhi Pembentukan embrio somatik ?
4. Apakah
kelebihan dan kekurangan dari embryogenesis somatik ?
5. Apa
sajakah kendala dalam pelaksanaan embryogenesis somatik ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah
ingin mengetahui :
1. Apakah
pengertian dari Embriogenesis Somatik.
2. Bagaimanakah
tahapan dalam embriogenesis somatik.
3. Faktor
apa saja yang mempengaruhi Pembentukan embrio somatik.
4. Apakah
kelebihan dan kekurangan dari embryogenesis somatik.
5. Apa
sajakah kendala dalam pelaksanaan embryogenesis somatik.
Manfaat dari penulisan ini adalah :
1. Sebagai
sumber pustaka yang mampu memberi manfaat kepada masyarakat secara luas.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Embriogenesis Somatik Dan
Kultur Jaringan
Embriogenesis somatik
merupakan suatu proses pembentukan embrio dari sel somatik menjadi tumbuhan
baru, tanpa melalui fusi sel gamet. Cara ini dinilai lebih cepat dan efisien,
karena setiap sel somatik berpotensi untuk menjadi 1 individu baru. Embrio
somatik dicirikan dengan strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon
meristem, meristem akar dan meristem tunas. Embrio somatik dapat melalui dua
jalur pembentukan, yaitu secara langsung maupun tidak langsung (melalui fase
kalus).
Kultur jaringan atau
biakan jaringan sering juga disebut kultur in
vitro yakni teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara
buatan yang dilakukan di luar individu yang bersangkutan. In vitro berasal dari bahasa Latin yang artinya "di dalam
kaca". Jadi Kultur in vitro
dapat diartikan sebagai bagian jaringan yang dibiakkan di dalam tabung inkubasi
atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya. Secara
teoritis teknik kultur jaringan dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari
tumbuhan, hewan, bahkan juga manusia, karena berdasarkan teori Totipotensi Sel
(Total Genetic Potential), bahwa
setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yaitu mampu memperbanyak diri
dan berediferensiasi menjadi individu lengkap. Sel dari suatu organisme
multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot karena
berasal dari satu sel tersebut.
Menurut Suryowinoto (1991), kultur
jaringan dalam baha asing disebut sebagai tissue culture. Kultur adalah
budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan
fungsi yang sama. jadi, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan
tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya
Kultur jaringan akan lebih besar
presentase keberhasilannya bila menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem
adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu
membelah, dinding tipis, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan
orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture. Sebab, jaringan meristem
keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang
mengatur pembelahan.
Teknik kultur jaringan sebenarnya
sangat sederhana, yaitu suatu sel atau irisan jaringan tanaman yang sering
disebut eksplan secara aseptik diletakkan dan dipelihara dalam medium
pada atau cair yang cocok dan dalam keadaan steril. dengan cara demikian
sebaian sel pada permukaan irisan tersebut akan mengalami proliferasi dan
membentuk kalus. Apabila kalus yang terbentuk dipindahkan kedalam medium
diferensiasi yang cocok, maka akan terbentuk tanaman kecil yang lengkap dan
disebut planlet. Dengan teknik kultur jaringan ini hanya dari satu
irisan kecil suatu jaringan tanaman dapat dihasilkan kalus yang dapat menjadi planlet
dalam jumlah yang
besar.
Pelaksanaan teknik kultur jaringan
berdasarkan teori sel sperti yang dikemukakan oleh Schleiden, yaitu bahwa sel
mempunyai kemampuan autonom, bahkan mempunyai kemampuan totipotensi.
Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, darimana saja sel tersebut diambil,
apabila diletakkan dilingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna.
Teknik kultur jaringan akan berhasil
dengan baik apabila syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat
tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk
pembentukkan kalus, penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptik dan
pengaturan udara yang baik terutama untuk kultur cair. Meskipun pada prinsipnya
semua jenis sel dapat ditumbuhkan, tetapi sebaiknya dipilih bagian tanaman yang
masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian meristem, seperti: daun muda, ujung
akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya. Bila menggunakan embrio bagian
bji-biji yang lain sebagai eksplan, yang perlu diperhatikan adalah kemasakan
embrio, waktu imbibisi, temperatur dan dormansi.
Embriogenesis dimulai
dengan pembelahan gel yang tidak seimbang (kalus). Kalus biasanya terbentuk
setelah eksplan dikulturkan dalam media yang mengandung auksin. Banyak faktor yang
mempengaruhi embriogenesis antara lain auksin eksogen, sumber eksplan, komposisi
nitrogen yang ditambahkan dalam media dan karbohidrat (sukrosa). Selanjutnya gel
membelah terus hingga memasuki tahap globular. Pada saat tersebut sel aktif membelah kesegala
arah dan membentuk lapisan terluar yang akan menjadi protoderm (bakal
epidermis), kelompok sel yang merupakan prekursor jaringan dasar dan jaringan pembuluhpun
mulai terbentuk. Pembelahan kesegala arah tersebut terhenti ketika pembentukan primordia
kotiledon, pada saat embrio matang sudah autotrof. Embrio yang matang akan berkecambah
dan tumbuh menjadi tumbuhan yang baru pada kondisi yang cocok (Bajaj, 1994;
Dodeman dkk. 1997;Lits, 1985).
Proses pembentukan dan
perkembangan embrio (embriogenesis) menentukan pola pertumbuhan, yaitu
meristem pucuk ke atas, meristem akar ke bawah, dan pola-pola dasar jaringan lainnya
berkembang pada 'axis' pucuk –akar ini, namun pada tiap tumbuhan terdapat variasi pada
proses embriogenesis.
Selanjutnya proses
embriogenesis adalah bagian dari metode kultur jaringan untuk memperoleh bibit yang
banyak dan bebas virus. Planlet yang dihasilkan pada mulanya beragam. Selanjutnya tanaman akan ditanam
dilapang dan diadakan seleksi sesuai dengan metoda pemuliaan berkali-kali
sehingga diperoleh tanaman-tanaman yang unggul. Tanaman inilah yang digunakan sebagai
sumber eksplan yang bisa diperbanyak dengan berbagai cara dilaboratorium kultur
jaringan sehingga didapat bibit dalam jumlah banyak dan seragam, metoda
yang digunakan antara lain menginduksi tunas majemuk dan sub kultur. Jika sudah
diperoleh sumber eksplan yang unggul dan media yang sesuai maka prosesnya akan
berlangsung dalam waktu yang singkat dengan penambahan hormone tumbuh dalam
konsentrasi rendah.
Metode
perbanyakan cepat kultur jaringan dapat dilakukan melalui:
a.
Perangsangan tunas lateral untuk
membentuk tunas ganda dalam jumlah yang melebihi npertumbuhan normal. Bahan
tanaman yang digunakan umumnya berupa batang yang mempunyai 1 buku. Cara ini
lebih mudah dan aman dalam mempertahankan sifat pohon induknya.
b.
Inisiasi tunas adventif langsung dari
eksplan atau melalui kalus.
c.
Embrio somatik.
Cara kedua dan ketiga banyak dilaporkan menyebabkan
ketidakstabilan pada turunannya karena pembentukan melalui fase kalus. Tetapi
di masa mendatang, cara embrio somatik banyak mendapat perhatian para pakar
karena mempunyai segi analitis dan komersialisasi yang sangat potensial
(Watimena, 1988).
2.2 Proses Pembentukan Embrio Somatik
Embrio somatik dapat terbentuk
melalui dua jalur, yaitu secara langsung maupun tidak langsung (melewati fase
kalus). Embriogenesis somatik langsung adalah proses perkembangan embrio secara
langsung pada potongan eksplan tanpa melalui fusi gamet, dan terjadi pada
eksplan yang masih muda (George dan
Sherrington, 1984). Sedangkan embryogenesis somatik tidak langsung yaitu
proses perkembangan embrio melalui pembentukan kalus yang berasal dari akar,
tangkai daun, tangkai bunga, daun, batang, atau embrio zigot yang mampu
membentuk kalus embrigionik (Chawla,
2000; George et al. 2008). Embryogenesis langsung memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan dengan embryogenesis . embryogenesis somatik langsung
memerlukan waktu lebih singkat untuk menghasilkan planlet dan kemungkinan
terjadinyapenyimpangan akibat keseragaman somakronal lebih kecil dibandingkan
embryogenesis tidak langsung.waktu yang diperlukan lebih singkat karena tidak
melalui fase kalus (Rungkhla et al, 1998)
dan dapat menekan masalah sulitnya pembentukan benih somatic pada tahap
perkecambahan (Rai et al., 2001).
Keberhasilan akan tercapai
apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh
sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan
mengandung butir pati. Embrio somatik dapat dihasilkan dalam jumlah besar dari
kultur kalus, namun untuk tujuan perbanyakan dalam skala besar, jumlahnya dapat
lebih ditingkatkan melalui inisisasi sel embrionik dari kultur suspensi yang
berasal dari kalus primer.
Embrio somatik dapat dicirikan
dari strukturnya yang bipolar,
yaitu mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas.
Dengan memiliki struktur tersebut maka perbanyakan melalui embrio somatik lebih
menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif yang unipolar. Di samping
strukturnya, tahap perkembangan embrio somatik menyerupai embrio zigotik.
2.3 Tahapan Embriogenesis Somatik
Embriogenesis somatik
mempunyai beberapa tahapan spesifik,yaitu (1) induksi sel dan kalus
embriogenik, (2) pendewasaan, (3) perkecambahan, dan (4) aklimatisasi.
1. Induksi
sel dan kalus embriogenik
Sebelum dilakukan
induksi sel, eksplan terlebih dahulu dilakukan sterilisasi permukaan. Induksi
sel dan kalus embriogenik pada umumnya dilakukan dengan penambahan zat pengatur
tumbuh pada medium pertumbuhannya dalam konsentrasi yang tinggi agar mempunyai
daya aktivitas yang kuat. Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan yaitu,
auksin (antara lain 2,4-D) dan sitokinin (antara lain kinetin). Kalus
embriogenik ditandai dengan pembentukan struktur kalus yang friable (remah dan
mudah terpisah) serta berwarna putih atau kekuningan yang muncul sekitar 2,5
bulan. Selanjutnya akan terbentuk struktur pasangan-pasangan berbentuk kepingan
berwarna putih yang menandakan terbentuknya embrio. Total embrio yang terbentuk
dari 1 helai daun yaitu sekitar 1000 embrio (Roostika et al., 2009).
2. Pendewasaan
Pada tahap pendewasaan,
struktur globular akan berkembang membentuk kotiledon dan primordia akar.
Pembentukan diawali dengan pembentukan struktur bipolar (2 kutub). Perkembangan
kalus embriogenik dipengaruhi oleh kondisi hormon endogen dan eksogen (zat
pengatur tumbuh). Ketika konsentrasi auksin lebih tinggi dari sitokinin, maka
pertumbuhan akar akan lebih dominan. Sebaliknya jika konsentrasi sitokinin
lebih tinggi dari auksin, maka yang dominan terbentu adalah tunas. Pada tahap
pendewasaan sering digunakan zat pengatur tumbuh pada konsentrasi yang rendah.
Perkembangan kalus embriogenik menjadi planlet dimulai dengan terbentuknya
struktur globular, hati, torpedo dan kotiledon (gambar 2.1 ).
Gambar 2.1: Urutan perkembangan kalus embriogenik. (A)
struktur globular, (B) struktur hati, (C) struktur torpedo, (D) struktur
kotiledon awal, (E) kotiledon akhir (Roostika et al., 2009)
3. Perkecambahan
Pada tahap
perkecambahan, embrio somatik akan membentuk tunas dan akar. Zat pengatur
tumbuh yang digunakan dalam medium pertumbuhan berada dalam konsentrasi yang
sangat rendah, bahkan tidak digunakan sama sekali. Berdasarkan penelitian
Roostika et al. (2009), penambahan
auksin ke dalam medium pertumbuhan justru tidak mampu meningkatkan persentase
pembentukan planlet. Hal ini diduga bahwa kandungan auksin endogen dalam kalus
mebriogenik cukup tinggi sehingga tidak memerlukan auksin eksogen. Pembentukan
tunas lebih diharapkan daripada pembentukan akar karena induksi perakaran dari
eksplan tunas lebih mudah dibandingkan dengan induksi tunas dari eksplan akar.
Untuk
perakaran digunakan media MS + NAA. Proses perakaran pada umumnya berlangsung
selama 1 bulan. Planlet (tunas yang telah berakar) diaklimatisasikan sampai
bibit cukup kuat untuk ditanam dilapangan. Pengamatan dilakukan setiap hari
untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya
kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan
menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau
busuk (disebabkan bakteri).
4. Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah
kegiatan mengadaptasikan tanaman atau mengkondisikan tanaman dari yang semula
kondisinya terkendali ke kondisi yang tak terkendali, untuk menjadi tanaman
yang autotrof. Bibit embrio somatik diaklimatisasi
terlebih dahulu sebelum ditanam di lingkungan agar terjadi penyesuaian.
Keberhasilan aklimatisasi ditandai dengan munculnya sepasang daun merah (Roostika et al., 2005). Pada penelitian
Roostika et al. (2009), persentase
tingkat keberhasilan aklimatisasi hanya sebesar 14%. Rendahnya tingkat
aklimatisasi kemungkinan disebabkan penguapan planlet yang tinggi karena masih
mempunyai kutikula yang tipis. Van Huylenbroeck dan Debergh (1996) menyebutkan
bahwa selama proses aklimatisasi, planlet harus beradaptasi terhadap lingkungan
baru, seperti tingkat kelembaban yang rendah, tingkat intensitas cahaya yang
tinggi, fluktuasi suhu dan stress penyakit.
Gambar 2.2 : tahap aklimasi pada
embryogenesis somatik secara in vitro
(sumber : www. hannylast.blogspot.com)
2.4 Faktor Keberhasilan Pertumbuhan
Embrio Somatik
Pembentukan embrio
somatik dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain jenis eksplan, sumber
nitrogen dan gula, serta zat pengatur tumbuh (Purnamaningsih, 2002).
a. Jenis
eksplan
Penggunaan jenis
eksplan yang bersifat meristematik dapat meningkatkan keberhasilan dalam
embriogenesis somatik. Jenis eksplan yang umum digunakan antara lain, aksis
embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, dan epikotil maupun
hipokotil.Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan faktor penting
yang menentukan keberhasilan kultur jaringan. Tiga aspek utama yang harus
diperhatikan dalam seleksi bahan eksplan yaitu genotipe, umur dan kondisi
fisiologis bahan tersebut.
Walaupun tanaman dapat diperoleh
dari sejumlah besar genotipe, kemampuan regenerasi setiap genotipe sangat
berbeda. Pengaruh genotipe pada proliferasi sel dapat dilihat pada kapasitas
regeneratifnya. Pada umumnya tanaman dikotil lebih mudah berproliferasi pada
kultur in vitro daripada tanaman
monokotil. Selain itu tanaman Gymnospermae memiliki kapasitas regeneratif yang
lebih terbatas dibandingkan dengan tanaman Angiospermae. Tanaman yang umumnya
mudah diperbanyak melalui teknik perbanyakan vegetatif konvensional akan mudah
pula diperbanyak melalui teknik kultur jaringan. Pada umumnya tanaman monokotil
lebih sulit diperbanyak daripada tanaman dikotil baik secara vegetatif
konvensional maupun melalui kultur jaringan.
Jaringan-jaringan yang sedang aktif
tumbuh (jaringan muda dan lunak) pada masa pertumbuhan merupakan bahan eksplan
yang paling baik karena pada umumnya jaringan tersebut lebih mudah
berproliferasi daripada jaringan berkayu atau yang sudah tua. Jaringan muda
biasanya memiliki kapasitas regeneratif yang tinggi dan seringkali digunakan
sebagai bahan penelitian.
Kondisi fisiologis eksplan memiliki
peranan penting bagi keberhasilan kultur jaringan pada umumnya bagian vegetatif
lebih siap beregenerasi daripada bagian generatif. Kondisi fisiologis dari
suatu tanaman bervariasi secara alami, sejalan dengan pertumbuhan tanaman yang
melewati fase-fase yang berbeda dan perubahan kondisi lingkungan. Suatu respons
pertumbuhan tertentu di dalam sistem kultur jaringan merupakan hasil interaksi
antara kondisi fisiologis bahan yang dikulturkan dengan faktor-faktor
lingkungan.
Faktor lain yang mempengaruhi laju
keberhasilan kultur jaringan adalah ukuran eksplan yang digunakan. Hal itu
penting dalam upaya memproduksi tanaman bebas virus melalui kultur meristem. Di
samping itu ukuran pun menentukan laju kehidupan bahan eksplan yang
dikulturkan. Semakin kecil ukuran eksplan akan semakin kecil pula kemungkinan
terjadinya kontaminasi baik secara internal maupun eksternal, namun laju
kehidupan pun akan rendah. Sebaliknya semakin besar ukuran eksplan akan semakin
besar pula kemungkinan untuk berhasilnya proliferasi, namun kemungkinan untuk
terjadinya kontaminasi mikroorganisme akan semakin besar.
b.
Sterilisasi Bahan
Kultur jaringan meliputi penanaman
sel atau agregat sel, jaringan, dan organ tanaman pada medium yang mengandung
gula, vitamin, asam-asam amino, garam-garam anorganik, air, zat pengatur tumbuh
dan bahan pemadat. Komposisi medium tumbuh ternyata sangat menguntungkan pula
bagi pertumbuhan cendawan dan bakteri. Bila terjadi kontaminasi, mikroorganisme
akan tumbuh dengan cepat dalam waktu yang singkat dan menutupi permukaan medium
serta eksplan yang ditanam. Selanjutnya mikroorganisme tersebut akan menyerang
eksplan melalui luka-luka akibat pemotongan dan penanganan pada sterilisasi
sehingga mengakibatkan kematian eksplan. Disamping itu mikroorganisme
mengeluarkan senyawa beracun ke dalam medium kultur yang dapat menyebabkan
kematian jaringan. Oleh karena itu, dalam inisiasi suatu kultur harus
diusahakan kultur yang aksenik artinya kultur hanya dengan satu macam satu
organisme yang diinginkan.
Untuk menghilangkan sumber infeksi,
bahan tanaman harus disterilkan sebelum ditanamkan pada medium tumbuh. Jaringan
atau organ yang terinfeksi jamur atau bakteri sistemik hendaknya dibuang.
c. Sumber nitrogen dan gula
Komposisi nutrisi dalam
medium berperan penting dalam induksi dan perkembangan embryogenesis somatik.
Nitrogen merupakan faktor utama dalam memacu morfogenesis secara in vitro.
Menurut Ammirato (1983), bentuk nitrogen reduksi (seperti NH4+
dan NO3-) dan beberapa asam amino (seperti glutamin dan
kasein hidrolisat) dapat membantu proses inisiasi dan perkembangan embrio
somatik. Young et al. (1999)
dalam Purnamaningsih (2002) menambahkan
bahwa penambahan asam amino dapat merangsang terjadinya komunikasi di antara
sel dan jaringan pada organ multiseluler. Akan tetapi, konsentrasi NO3-
yang terlalu tinggi dapat meningkatkan pH medium sehingga kalus tidak membentuk
embrio somatik.
Selain nitrogen, gula
juga merupakan komponen nutrisi yang harus diberikan ke medium pertumbuhan.
Gula berfungsi sebagai sumber karbon dan mempertahankan tekanan osmotik pada
medium. Anhazhagan dan Ganapathi mengamati pengaruh beberapa jenis gula
(glukosa, sukrosa, fruktosa, dan maltosa) terhadap pembentukan kalus
embriogenik. Penambahan sukrosa ke dalam medium kultur menghasilkan jumlah
embrio somatik paling banyak dibandingkan jenis gula yang lain (tabel 2.1).
d. Media
tanam
Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang
akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral
unsur hara makro dan unsur hara mikro, vitamin, dan zat pengatur tumbuh
(hormon). Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, arang
aktif, dan bahan organik lainnya .Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung
reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan
dengan cara memanaskannya menggunakan autoklaf. Berikut adalah jenis-jenis
media yang dapat digunakan untuk kultur jaringan tanaman:
Berdasarkan asalnya, media dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Media alami
Media alami merupakan media yang berasal dari cairan
jaringan embrio dan medium plasma darah. Plasma darah merupakan komponen
terbesar dalam darah, karena lebih dari separuh darah mengandung plasma darah.
Untuk bahan alami ini masih digolongkan ke dalam tiga kategori lagi, yakni:
1) Koagulat misalnya
koagulan plasma darah dan kolagen
2) Cairan biologis
misalnya berupa serum
3) Ekstrak jaringan
misalnya berupa ekstrak embrio
2. Media Sintetik
Media sintetik merupakan media yang dibuat
secara kimia, misalnya DMEM (Dulbeccoir
M'odp'ied Eagle Medium) dan RPMI (Roswell
Park Memorial Institute medium). Berdasarkan kebutuhannya
media buatan dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Minimum essential medium (MEM), yaitu medium dasar yang tersusun
atas asam amino esensial, vitamin dan BSS.
2) Medium pemeliharaan
(Maintenance medium/MM), yaitu medium
yang digunakan untuk memelihara kehidupan sel dalam metaboisme renda dan jangka
waktu yang cukup lama. Medium ini terdiri dari Minimum essential medium (MEM) dan serum berkonsentrasi rendah
(2-5%).
3) Medium penumbuh (growth medium) yaitu, medium yang
diperkaya dengan nutrien-nutrien untuk menumbuhkan kultur sel secara cepat,
medium ini ditambahkan serum cukup banyak (10 – 20 %).
e. Zat
pengatur tumbuh
Zat pengatur tumbuh
merupakan suatu senyawa organik yang berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan kultur. Konsentrasi yang digunakan berbeda-beda tergantung dari
fase pertumbuhan yang terjadi. Konsentrasi yang tinggi diberikan pada tahap
induksi sel, sedangkan pada tahap pendewasaan zat pengatur tumbuh diberikan
dengan konsentrasi yang rendah. Macam zat pengatur tumbuh tersebut dapat berupa
auksin (2,4-D; 3,5-T; picloram; dan NAA), dan sitokinin ( Benzil adedin/BA,
kinetin, dan adenine sulfat). Zat pengatur tumbuh yang paling sering digunakan
adalah auksin sintetik 2,4-D karena efektif
untuk induksi kalus embriogenik dan tahap terhadap degradasi reaksi
enzimatik maupun fotooksidasi.
Tabel 2.1. Pengaruh
penggunaan karbohidrat dan konsentrasi 2,4-D terhadap embryogenesis somatik
pada kultur suspensi
Angka
yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji DMRT taraf 5%. Perlakuan
dari
10 ulangan. (sumber :
ika246.blogspot.com)
Perbandingan penggunaan
zat pengatur tumbuh dilakukan pada penelitian Roostika et al. (2009). Dua macam zat pengatur tumbuh yang digunakan yaitu
auksin (IBA dan NAA), serta sitokinin (BA dan kinetin). Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa penggunaan auksin lebih efektif untuk perkembangan kalus
embriogenik dibandingkan dengan sitokinin (grafik 1 ).
Grafik 1 :
Pengaruh auksin dan sitokinin terhadap regenerasi kalus embriogenik
lengkeng Diamond river yang ditanam pada medium yang mengandung sukrosa 1&,
2 bulan setelah tanam.
(sumber
: ika246.blogspot.com)
Proses pembentukan
embriogenesis somatik dikendalikan oleh berbagai gen yang saling terkait.
Hiwatashi dan Fukuda (2000) mengisolasi 6 homeobox gen (CHBs) yang
dikelompokkan sebagai famili HD (homeo-domain) Zip I dari embrio dan bibit
wortel. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah m-RNA dari gen CHB3, CHB4,
CHB5, dan CHB6 meningkat sesuai dengan perkembangan embrio somatik. Akumulasi
m-RNA dari gen-gen tersebut tampak
pada
beberapa lokasi yang berbeda dalam embrio dan bibit wortel sesuai dengan tahap
perkembangannya.
Pada embrio, akumulasi m-RNA dari CHB3 terlihat pada
bagian aksis embrio pada fase globular, sedangkan pada awal fase hati sampai
akhir torpedo, akumulasi m-RNA dari CHB3 tampak pada bagian paling dalam dari
sel-sel korteks. Lapisan paling dalam dari sel-sel korteks tersebut berbeda
dengan sel-sel korteks lain di mana lapisan tersebut banyak mengandung vakuola
dan plastida. Lapisan ini akan berdiferensiasi membentuk sistim pembuluh.
Ekspresi dari gen CHB4 dan CHB5 mulai terlihat pada fase torpedo. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa ekspresi dari gen CHB3, CHB4, dan CHB5 kemungkinan
berhubungan dengan diferensiasi dari lapisan sel-sel korteks yang paling dalam.
Peningkat-an jumlah m-RNA dari gen CHB6 terlihat pada jaringan pembuluh yang
masih muda dari fase hati hingga terbentuknya
embrio somatik. Hal ini menunjukkan bahwa gen CHB6
kemungkinan berhubungan dengan diferensiasi dan perkembangan sistem pembuluh.
Secara skematik ekspresi dari keempat gen tesebut dan hubungannya dengan tahap
perkembangan embriogenesis disajikan pada gambar 2.3.
Gambar2.3
: Akumulasi m-RNA dari CHB yang berbeda-beda selama embriogenesis somatic
(sumber
: www. ika246.blogspot.com)
2.5 Masalah-masalah
Dalam Embriogenesis
Somatic Secara In Vitro
Dalam kegiatan kultur jaringan, tidak sedikit
masalah-masalah yang muncul sebagai pengganggu dan bahkan menjadi penyebab tidak
tercapainya tujuan kegiatan kultur yang dilakukan. Gangguan kultur secara umum
dapat muncul dari bahan yang ditanam, dari lingkungan kultur, maupun dari
manusianya.
Permasalahan dalam kultur ada yang dapat diprediksi
sebelumnya dan ada pula yang sulit diprediksi kejadiannya. Untuk yang tidak
dapat diprediksi, cara mengatasinya tidak dapat secara preventif tetapi
diselesaikan setelah kasus itu muncul. Adapun masalah-masalah yang terjadi
dalam kultur jaringan yaitu:
1. Kontaminasi
Kontaminasi adalah gangguan yang sangat umum terjadi dalam
kegiatan kultur jaringan. Munculnya gangguan ini bila dipahami secara mendasar
adalah merupakan sesuatu yang sangat wajar sebagai konsekuensi penggunaan yang
diperkaya. Fenomena kontaminasi sangat beragam, keragaman tersebut dapat
dilihat dari jenis kontaminasinya (bakteri, jamur, virus, dll).
Upaya mencegah terjadinya kontaminsi:
a.
Biasakan
membersihkan berbagai sarana yang diperlukan dalam kultur jaringan.
b.
Yakinkan
bahwa proses sterilisasi media secara baik dan benar.
c.
Lakukan
proses penanaman bahan pada keadaan anda nyaman dan cari waktu yang longgar.
2. Pencoklatan/browning
Pencoklatan adalah suatu karakter munculnya warna coklat
atau hitam yang sering membuat tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan
eksplan. Peristiwa pencoklatan sesunggguhnya merupakan peristiwa alamiah yang
biasa yang sering terjadi. Pencoklatan umumnya merupakan suatu tanda-tanda
kemunduran fisiologi eksplan dan tidak jarang berakhir pada kematian eksplan.
3. Vitrifikasi
Vitrifikasi adalah suatu istilah problem pada kultur yang
ditandai dengan:
Munculnya pertumbuhan dan pertumbuhan yang tidaknormal. Tanaman yang dihasikan pendek-pendek atau kerdil. Pertrumbuhan batang cenderung ke arah penambahan diameter Tanaman utuhnya menjadi sangat turgescent.
Pada daunnya tidak memiliki jaringan pallisade..
Munculnya pertumbuhan dan pertumbuhan yang tidaknormal. Tanaman yang dihasikan pendek-pendek atau kerdil. Pertrumbuhan batang cenderung ke arah penambahan diameter Tanaman utuhnya menjadi sangat turgescent.
Pada daunnya tidak memiliki jaringan pallisade..
4. Variabilitas Genetik
Bila kultur jaringan digunakan untuk upaya perbanyakan
tanaman yang seragam dalam jumlah yang banyak, dan bukan sebagai upaya
pemuliaan tanaman maka variasi genetik adalah kendala. Variasi genetik dapat
terjadi pada kultur in vitro karena:
Laju multiflikasi yang tinggi, variasi terjadi karena
terjadinya sub kultur berulang yang tidak terkontrol. Penggunaan teknik yang
tidak sesuai.
Variasi genetik yang paling umum terjadi pada kultur kalus dan kultur -suspensi sel, hal tersebut terjadi karena munculnya sifat instabilitas kromosom mungkin akibat teknis kultur, media atau hormon. Cara mengatasi masalah variasi genetik tentunya tidak sederhana, harus memperhatikan aspek yang dikulturkan.
Variasi genetik yang paling umum terjadi pada kultur kalus dan kultur -suspensi sel, hal tersebut terjadi karena munculnya sifat instabilitas kromosom mungkin akibat teknis kultur, media atau hormon. Cara mengatasi masalah variasi genetik tentunya tidak sederhana, harus memperhatikan aspek yang dikulturkan.
5. Pertumbuhan dan Perkembangan
Masalah utama berkaitan dengan proses pertumbuhan adalah
bila eksplan yang ditanam mengalami stagnasi, dari mulai tanam hingga kurun
waktu tertentu tidak mati tetapi tidak tumbuh. Untuk menghindari hal itu dapat
dilakukan dengan preventif menghindari bahan tanam yang tidak juvenil atau
tidak meristematik. Karena awal pertumbuhan eksplan akan dimulai dari sel-sel
yang muda yang aktif membelah, atau dari sel-sel tua yang muda kembali.
Media juag dapat menjadi sebab terjadinya stagnasi
pertumbuhan, karena dari kondisi medialah suatu sel dapat atau tidak terdorong
melakukan proses pembelahan dan pembesaran dirinya.
Pada proses klutur jaringan yang bersifa inderict
embriogenesis, tahapan pembentukan kalus harus dilanjutkan dengan mendorong
induksi embriosomatik dari sel-sel kalus. Terjadinya embrio somatik dapat
secara endogen atau eksogen.
6. Praperlakuan
Masalah pada kegiatan in vitro bukan hanya dari penanaman
eksplan saja, pertumbuahn dan perkembangannya dlama botol saja tetapi juga sangat
bisa dipengaruhi oleh persyaratan kegiatan prapelakuan. Pada kasus ini masalah
akan muncul bila kegiatan prapelakuaan tidak dilakukan. Prapelakuan dilakukan
umumnya untuk tujuan-tujuan tertentu, secara umum adalah dalam rangka
menghilangkan hambatan. Hambatan apat berupa hambatan kemikalis, fisik,
biologis. Hambatan berupa bahan kimia penanganannya harus dimulai dari
pengenalan senyawa aktif, potensi gangguan, proses reaksi dan alternatif
pengelolaannya.
7. Lingkungan Mikro
Masalah lingkungan inkubator juga tidak bisa diabaiakan
karena ini juga sering menjadi masalah. Suhu ruangan inkubator sangat
menentukan optimasi pertumbuhan eksplan, suhu yang terlalu rendah aatau tinggi
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada eksplan.
Kebutuhan antara satu tananaman dengan tanaman yang lain
berbeda, namunddemikian solusinya sulit dilakukan mengingat umumnya ruangan
inkubator suatu ruangan laboratorium kultur jaringan tidak bisa dibuat variasi
antara satu ruangan dengan bagian ruangan yang lainnya. Sehingga optimasi
pertumbuhan tidak bisa diharapkan sama antara kultur yang satu dengan kultur
yang lain.
2.6 Manfaat Embriogenesis Somatik
In-Vitro
Kegunaan utama dari kultur jaringan
adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang
relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama persis
dengan induknya. Dari teknik kultur jaringan tanaman ini diharapkan juga
memperoleh tanaman baru yang bersifat unggul. Secara lebih rinci dan jelas
berikut ini akan dibahas secara khusus kegunaan dari kultur jaringan terhadap
berbagai ilmu pengetahuan. Antara lain:
1. Menghasilkan
jutaan klon dapat dihasilkan dalam waktu singkat dengan jumlah material awal
yang sedikit
2. Teknik
kultur jaringan menawarkan suatu alternatif bagi spesies-spesies yang resisten terhadap
sistem perbanyakan vegetatif konvensional dengan melakukan manipulasi terhadap
faktor-faktor lingkungan, termasuk penggunaan zat pengatur tumbuh.
3. Kemungkinan
untuk mempercepat pertukaran bahan tanaman di tingkat internasionalua proses dilakukan
di bawah kondisi lingkungan yang terkendali di laboratorium ataupun rumah kaca.
4. Bibit yang
dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu).
5. Biaya
pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah.
6. Dalam proses
pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya.
7. Dapat diperoleh
sifat-sifat yang dikehendaki.
8. Metabolit
sekunder tanaman segera didapat tanpa perlu menunggu tanaman dewasa.
9. Kultur jaringan
juga mempunyai manfaat yang besar dibidang farmasi, karena dari usaha ini dapat
dihasilkan metabolit skunder upaya untuk pembuatan obat-obatan, yaitu dengan
memisahkan unsur-unsur yang terdapat di dalam kalus ataupun protokormus,
misalnya alkoloid, steroid, dan terponoid.
10. Beberapa jenis
tanaman ada yang teramcam punah (endangered species), misalnya berbagai
jenis tanaman pisang, tanaman melati, kenanga, kayu jati, dan kayu putih. Usaha
yang paling tepat untuk melestarikan tanaman yang terancam punah adalah dengan
jalan kloning. Dengan usaha kloning ini, populasi dari tanaman tersebut akan
terselamatkan, bahkan dapat bertambah, sekaligus sifat-sifat yang dimiliki oleh
tanaman tersebut tetap terjamin.
11. Kultur jaringan
juga memberikan masukkan atau informasi pengetahuan yang sangat bermanfaat
dibidang fisiologi tanaman. Pada tanaman anggrek misalnya, telah berhasil
diketahui bahwa jika ujung akarnya diiris melintang akan memperlihatkan warna
tertentu. Warna tersebut nantinya akan sama dengan warna bunganya. Hal ini
sangat berguna dalam bidang perdangan bunga hias, sebab walaupun tanamannya
belum berbunga orang sudah dapat mengetahui warna bunga yang akan muncul.
2.7 Kerugian dari Embriogenesis Somatik
Secara In-Vitro
Selain memberikan keuntungan yang besar embriogenesis
somatic secara invitro juga memberikan kerugian, antara lain :
1.
Bagi orang
tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit.
2. Membutuhkan modal investasi awal yang tinggi untuk
bangunan (laboratorium khusus),
peralatan dan perlengkapan.
3. Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan
perbanyakan kultur jaringan agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan.
4. Produk kultur jaringan pada akarnya kurang kokoh.
5. Mengancam keanekaragaman hayati.
2.8 Kendala
Dalam Penerapan Embriogenesis Somatik Secara In-Vitro Di Masyarakat
Teknik kultur jaringan sampai saat ini memang belum biasa
dilaksanakan oleh para petani, baru beberapa kalangan pengusaha swasta saja
yang sudah mencoba melaksanakannya, karena pelaksanaan teknik kultur jaringan
tanaman memerlukan keterampilan khusus dan harus dilatar belakangi dengan ilmu
pengetahuan dasar tentang fisiologi tumbuhan, anatomi tumbuhan, biologi, kimia
dan pertanian. Dengan demikian jelas akan amat sulit untuk diterima oleh
kalangan petani biasa. Di samping itu, pelaksanaan teknik kultur jaringan
mutlak memerlukan laboratorium khusus, walaupun dapat di usahakan secara
sederhana (dalam ruang yang terbatas), namun tetap memerlukan peralatan yang
memadai. Kemungkinan lain petani akan merasa enggan bekerja secara aseptik..
Pekerjaan kultur jaringan meliputi: persiapan media, isolasi bahan tanam (eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi dan usaha pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang. Pelaksana harus bekerja dengan teliti dan serius, karena setiap tahapan pekerjaan tersebut memerlukan penanganan tersendiri dengan dasar pengetahuan tersendiri. Karena semua pekerjaan harus dilaksanakan secara hati-hati dan cermat serta memerlukan kesabaran yang tinggi. Biaya untuk mewujudkan perbanyakan tanaman secara in vitro ini juga sangat mahal, kecuali kita meramu medium sendiri. Bila kita terpaksa harus membeli medium yang sudah jadi (dalam kemasan) jelas akan sangat mahal, sebab medium yang sudah jadi masih harus di impor dari luar negeri. Apalagi kita harus membeli saran untuk perlakuan isolasi dan fusi protoplas, tentu biayanya akan bertambah besar. Enzim-enzim yang digunakan dalam kultur jaringan juga masih dibeli dari luar negeri seperti Jepang.
Lepas semua dari kendala-kendala tersebut diatas, kita harus mengakui bahwa teknik kultur jaringan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk pengembangan bioteknologi.
Pekerjaan kultur jaringan meliputi: persiapan media, isolasi bahan tanam (eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi dan usaha pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang. Pelaksana harus bekerja dengan teliti dan serius, karena setiap tahapan pekerjaan tersebut memerlukan penanganan tersendiri dengan dasar pengetahuan tersendiri. Karena semua pekerjaan harus dilaksanakan secara hati-hati dan cermat serta memerlukan kesabaran yang tinggi. Biaya untuk mewujudkan perbanyakan tanaman secara in vitro ini juga sangat mahal, kecuali kita meramu medium sendiri. Bila kita terpaksa harus membeli medium yang sudah jadi (dalam kemasan) jelas akan sangat mahal, sebab medium yang sudah jadi masih harus di impor dari luar negeri. Apalagi kita harus membeli saran untuk perlakuan isolasi dan fusi protoplas, tentu biayanya akan bertambah besar. Enzim-enzim yang digunakan dalam kultur jaringan juga masih dibeli dari luar negeri seperti Jepang.
Lepas semua dari kendala-kendala tersebut diatas, kita harus mengakui bahwa teknik kultur jaringan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk pengembangan bioteknologi.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perbanyakan tumbuhan atau perbanyakan bibit tumbuhan secara
besar-besaran kadang–kadang sangat diperlukan. Namun perbanyakan tumbuhan
dengan teknik konvensional seringkali menghadapi kendala teknis, lingkungan
maupun waktu. Sebagai contoh perbanyakan tanaman dengan menggunakan biji
memerlukan waktu yang relatif lama dan seringkali hasilnya tidak seperti
tanaman induknya. Kendala lain yang juga sering muncul adalah gangguan alam,
baik yang disebabkan oleh jasad hidup, misalnya hama dan penyakit maupun
cekaman lingkungan yang dapat menggangu keberhasilan perbanyakan tanaman di
lapangan. Sejalan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan terutama bidang
teknologi, kendala-kendala tersebut dapat diatasi antara lain melalui teknik kultur jaringan.
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian
dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ,
serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik. Sehingga bagian-bagian tersebut
dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali.
Kultur jaringan atau biakan jaringan sering disebut kultur in vitro yakni teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari
individu secara buatan yang dilakukan di luar individu yang bersangkutan.
Kultur in vitro memiliki banyak manfaat namun kultur in vitro juga memiliki
kerugian salah satunya seperti mengancam
keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu, nampaknya
kecanggihan teknologi saat ini selain memberikan manfaat tapi menghasilkan pula
kerugian yang merupakan masalah yang harus dicarikan solusinya. Ini semua
menjadi tugas kita semua untuk memberikan solusi bermanfaat agar dapat
memecahkan masalah tersebut
3.2 Kritik Dan Saran
Seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, teknik kultur jaringan memberikan sumbangan
yang bermanfaat bagi dunia pertanian, perkebunan dan dunia pendidikan. Namun,
terlepas dari kelebihan itu semoga teknik pembiakan tanaman dengan cara kultur
jaringan ini dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat untukmenciptakan
perekonomian maupun pendidikan Indonesia kea rah yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
ika. Embryogenesis
somatic. 2012.http://ika246.blogspot.com/2012/05/embriogenesis-somatik-embriogenesis.html
(diakses tanggal 4 Oktober 2012)
noname.
Embriogenesis-somatik.2008. http://id.scribd.com/doc/95735579/Embriogenesis-somatik.
(diakses tanggal 4 Oktober 2012)
paradabangsa. 2012.Perbanyakan
tanaman melalui kultur. http://www.peradabanbangsa.com/2012/04/perbanyakan-tanaman-melalui-kultur.html
(diakses tanggal4 Oktober 2012)
media. 2011. Somatic
embryogenesis. http://mediaperbanyakansecarakulturjaringan.blogspot.com/2010/11/somatic-embryogenesis-embrio-aseksual.html.
(diakses tanggal 4 Oktober 2012)
Daisy, 1994. Teknik kultur jaringan. Yogjakarta ;
kanisius.
Noname. 2010.
Embryogenesis somatic. http://contohmakalah.web.id/2010/12/embriogenesis-somatik-pada-kultur-in-vitro-daun-kopi/
(akses tanggal 4 Oktober 2012)
Asgarsel.2010. kultur
jaringan. http://asgarsel.blogspot.com/2010/11/kultur-jaringan-adalah-suatu-metode.html.
(akses tanggal 4 Oktober 2012)
Widya. 2010. Materi
kuliyah. http://widya1990.wordpress.com/materi/
(diakses tanggal 4 Oktober 2012)
Hanny. 2012. Kultur
jaringan. http://hannylast.blogspot.com/2012/04/kultur-jaringan.html
(diakses tanggal 4 Oktober 2012)
Fransiska. 2011,
makalah kultur jaringan. http://thafransisca.wordpress.com/2011/01/30/makalah-kultur-jaringan-lengkap/.
(Akses tanggal 4 Oktober 2012)
Dwiekayanti. 2011.
Makalah embryogenesis. http://dwiekayanti.blogspot.com/2011/03/makalah-embriogenesis-tumbuhan-dikotil.html.(diakses
tanggal 4 Oktober 2012)
Iksanudin. 2010.
Embryogenesis somatic. http://ikhsanudin.wordpress.com/2010/12/05/embriogenesis-somatik-pada-kultur-in-vitro-daun-kopi/
(diakses tanggal 4 Oktober 2012)
Bagus sangat membantu.
BalasHapus